• +628115711132
  • invictus93@cukelingkumang.com

Setiap acara RAT CUKK, aku jadi orang besar. Duduk di kursi empuk di barisan paling depan bersama para pejabat undangan.  Sebenarnya aku tidak menyukai itu. Aku senang membaur dengan para anggota. Tapi, sekali setahun aku dibuat istimewa oleh panitia. Ya... ikut saja. Aku juga tidak menyukai pakaian yang formal-formal. Aku suka celana sejenis “jeans” murah. Baju seadanya saja. Aku menyukai penampilan seperti itu.

            Pada Pra RAT 22 Februari 2019 yang lalu aku menyempatkan diri berbaur dengan para anggota ketika rehat kopi. Kepada salah seorang utusan RAT aku bertanya: “Bagaimana bapak menghadapi harga karet Rp 6.000 per kg dan harga TBS kebun mandiri Rp 400,- per kilo?” Kata orang itu, “Tidak tahu pak. Semua mentok. Kami lagi menunggu bapak-bapak yang duduk di depan, ketika mereka pidato nanti apakah mereka telah memikirkan masalah kami yang sudah menahun ini. Daya beli kami jatuh kalau harga karet dan sawit seperti ini terus pak.”

            Aku membatin, orang itu menyinggung begitu dalam. Apakah dia tahu kalau aku bakal didaulat untuk memberi sambutan beberapa saat lagi. Tidak, aku tidak senaif itu menuduh orang sembarangan. Dia tak peduli siapa yang pidato, semua itu sudah ada yang mengatur.  Aku pamit dari kerumunan itu dan berjalan menuju tempat dudukku di kursi empuk itu, dengan berbagai hidangan istimewa para pejabat.

            Kertas sambutan yang sudah aku persiapkan langsung aku masukkan ke dalam tas pembagian panitia. Isi pidato itu tak berguna. Dalam waktu singkat aku sudah punya isi pidato paling terbaru. 

            Saatnya aku naik pentas. Basa basi meluncur ke seluruh mega aula. Lalu, “Berapa harga karet hari ini?” Aku mendengar beberapa jawaban enam ribu. “Oh ya!” kataku. “Enam ribu rupiah. Lalu berapa harga TBS per kilo?” tanyaku lagi. “Kalau kebun sawit mandiri hanya empat ratus rupiah.” Suara itu begitu jelas di telingaku.

            Aku tidak mungkin bicara basa basi lagi. Waktu pidatoku hanya 10 menit. “Bagaimana kalau kita mengembangkan komoditi bukan karet dan sawit? Kita menanam kakao dan kopi. Kira-kira bapak, ibu setuju?” Sebelum mereka memberikan jawaban aku langsung tambahkan “Kita urus dari petani kakao, penampung kakao, dan mencari pembeli kakao.” Aku tahu masalah komoditi ini seringkali barangnya ada tapi pasar tidak ada, atau tidak ada yang mencari. “Kita mengembangkan ekonomi lokal bapak ibu. Kakao dan kopi bisa menjadi produk yang menjanjikan.” Aku mendengar jawaban menggema “SETUJU.”

Share This